-->

Rindu Kenangan Lampau Di Desa Kelahiran

Wafa Info | Desa tempat saya dilahirkan adalah salah tempat yang tidak mungkin terlupakan sepanjang hidup saya, dimana disanalah saya dilahirkan di sanalah saya dibesarkan, bagaimanapun sesukses apapun hidup baik di kota maupun dimana saja, jangan pernah melupakan dan enggan melihat tanah kelahiran di desa, menyapa tetangga di desa, sombong setelah kembali ke desa.


kehidupan-di-desa-yang-indah
Gambar : Wafa Info

Adakah yang rindunya sama dengan rindu saya ke tempat dimana kita dilahirkan? Ke tempat dimana kita bercanda tawa bersama kawan-kawan, bermain kelereng, petak umpet, Sodoran, Bekelan, cari sarang burung ke kebun sambil membawa granat ketapel, granat  bambu, mencari ikan di persawahan tetangga sampai di marahi (Cewer), bermain mobil-mobilan dari bambu, batu batrei, ban sepeda motor di dorong dengan ranting singkong, apakah ada yang rindunya sama dengan saya?

Tidakkah kita ingat saat libur sekolah dulu kita mencari kayu bersama kawan-kawan, sembari membawa bekal untuk dimakan bersama di kebun dan bercerita yang kadang mengkhayal, sungguh indahnya hari itu, tetapi mungkin ada juga bahkan banyak yang tidak merasakan hal tersebut. Jadi mari simak cerita kehidupan saya dulu di Desa, mungkinkah ada kesamaan, atau gambaran indahnya kehidupan di desa?
Cerita ini memang hanyalah penggalan-penggalan,  karena saya rasa sulit jika diurutkan dan yang sebenarnya masih banyak juga kenangan yang lain yang masih belum muncul dan teringat dalam fikiran, setidaknya tulisan ini adalah sebuah gambaran dimana kebanyakan anak desa dibesarkan, bagaimana sosial nya, bagaimana pendidikannya dan banyak lagi lain-nya. Mungkin yang masih dapat di tulis dibawah ini, yang mana tulisan dibawah ini merupakan momen yang paling saya rindukan dan paling saya ingat.

Yuk terus simak, jangan lupa fokus dan resapi, kalau hanya dibaca mungkin kurang afdhal, jadi perlu diresapi dan di hayati O ke langsung saja.

Dulu sebelum saya sekolah atau kira-kira masih di bangku kelas satu SD, setiap pagi kisaran sebelum subuh, ibuku sudah bangun untuk memasak mungkin tujuannya agar anak-anaknya setelah mau berangkat sekolah dan ibu berangkat kerja bisa sarapan terlebih dahulu, beliau setiap pagi membangunkan saya dengan ketukan pisau mencacah Singkong, biasanya singkong tersebut diambil waktu sorenya setelah pulang dari buruh.

Jadi dulu yang dimasak adalah singkong yang dicacah, jika persediaan beras masih ada, singkong yang dimasak itu di bauri atau di campuri dengan beras, itupun berasnya sedikit, mungkin untuk mengirit persediaan beras yang ada, sedihnya jikalau persediaan beras habis kadang hanya singkong itulah yang menjadi andalan sebagai bahan makanan keluarga setiap harinya.

Ada pula dulu yang sering keluarga dan saya makan adalah singkong yang dikeringkan, atau yang bisa kita kenal sampai sekarang nasi Gaplek, singkong yang diolah mulai dari dikelupas, lalu dikeringkan sampai berwarna kehitam-hitaman, kemudian jika mau nanak Gaplek tersebut perlu di cacah sampai lembut kemudian dimasak seperti memasak nasi singkong biasanya.

Jadi kebanyakan yang ekonominya menengah kebawah makanan sehari-harinya seperti yang disebut diatas, kadang dan tak jarang ada pula anak yang mengeluh, melapor kepada sang ibu dan ayah bahwa sang anak melihat temannya sedang makan nasi putih dengan lauk yang enak, betapa pedihnya hati sang ibu mendengar keluhan sang anak, tetapi lagi-lagi seenak-enaknya makanan keseharian di desa dulu, paling tidak semuanya hampir sama.

Begitupun lauknya, yaitu seadanya. Seperti yang sampai saat ini menjadi makanan favorit saya ikan asin (klotok), sambal torek dan sayur kuah ( Jangan Bening ) harganya relatif terjangkau, dulu ikannya tidak digoreng tapi dipanggang, menu ini merupakan menu  favorit keluarga saya, sayuran adalah lauk yang paling sering dikonsumsi, biasanya sayuran itu direbus dan di jadikan sebagai lauk, dan ditambah dengan sambal terasi, begitu enak dan lahap ketika makan dulu, apalagi pas hari minggu dimana ibu dan ayah libur buruh, sarapan pagi terasa nikmat  ditemani keduanya.

Sayapun terkadang juga mengeluh, dengan menu makan yang itu-itu saja, namun setelah saya tau sekarang ternyata hidup yang seperti itu sangat indah dan menjadi momen paling saya rindukan, kapan bisa begitu lagi, perlu diketahui dulu masak tidak pakai kompor gas seperti sekarang, kompor minyak tanah juga jarang yang punya, minyak tanah dulu hanya dijadikan sebagai salah satu alat agar kayu yang berada dalam (Luweng atau Pawon) cepat terbakar.

Entah kenapa dulu seakan melarat, apakah dulu harga minyak tanah mahal, kompor mahal, beras mahal, tidak punya sawah, harga hewan ternak mahal, atau seperti apa, padahal mayoritas orang desa punya hewan ternak sapi, kambing, ayam dan lain sebagainya, mirisnya dulu ingin menikmati menu dengan lauk sapi, lauk ayam dan  yang sampai sekarang masih dapat di katan mahal masih menunggu hari-hari besar seperti maulidan, pernikahan, dan hari raya idul fitri, entahlah itu dulu yang sangat saya rindu.

Jika ayah dan ibu libur kerja buruh, biasanya saya diajak ke ladang atau perkebunan, namun pasti saya menolak, karena dari inginnya bermain bersama teman-teman yang sudah direncakan di hari sebelumnya setelah pulang sekolah, entah itu main klereng main petak umpet dan pasti saja ada hal seru lain-lainnya, kenapa saya menolak selain ingin bermain? Karena diperkebunan dimana embun diatas dedaunan masih belum jatuh ke tanah pasti disana banyak nyamuknya, dan banyak hewan lintah yang hewan tersebut menyedot darah, efeknya gatal-gatal sakit ditempat luka yang lobangi sebagai jalan untuk menghisap darah.

Dan lain dari pada itu yang paling teringat sampai saat ini ialah, waktu dibulan puasa ikut ke perkebunan, kemudian pulangnya masih membawa rumput pakan sapi, perjalanan yang lumayan jauh membuat saya meneteskan air mata (menangis) selain karena beban di kepala amat sudah terasa beratnya. Mau ditambahkan ke orang tua keadaannya sudah memikul beban yang 90 persen melebihi beban berat saya, sudah tidak mungkin membongkar tali yang sudah kuat, karena sudah sama-sama lelahnya, alhasil rumput yang saya bawa masih di jinjing ditangan sebelah kanannya ayah saya. Ya begitulah dulu.

Itupun tidak hanya dirasakan saya, kalau dulu baik cewek maupun cowok semuanya ikut ke perkebunan membantu orang tua, sekalipun disana hanya bisa merusak apa yang sudah dikerjakan oleh kedua orang tua saya, seperti menginjak-injak tanah yang sudah di cangkul, naik pepohonan sampai kadang dimarahi dan banyak lagi yang lainnya.

Namun itu semua bukanlah sebuah keluhan setelah saya besar sekarang, setelah bisa berfikir bagaimana susahnya mendapatkan penghasilan, bagaimana sedihnya memulai sebuah pekerjaan, pada intinya hidup tidak ada yang instan, semuanya perlu proses dimana proses tersebut sangat melelahkan, tetapi endingnya nanti proses tersebut akan menjadi moment yang sangat di rindukan dari pada orang yang tidak mengalami proses sama sekali.

Selain itu bagaimana keseruan saat bermain dengan kawan-kawan sejawat, apa saja yang saya lakukan saat bermain dengan mereka, tentu hal tersebut sangat seru kalau diceritakan, tetapi mungkin masih belum bisa saya tulis dan dijadikan satu tulisan dengan rindu kenangan di desa kelahiran part 1 ini. Tunggu tulisan selanjutnya Rindu Kenangan Lampau Di Desa Kelahiran Part 2, yang sama kehidupannya dengan penulis, komen iya. 

9 Responses to "Rindu Kenangan Lampau Di Desa Kelahiran"

  1. Melasnya, ternyata kehidupan dulu memang nyaman dan tidak nyaman iya mas.. tapi setelah kita ingat sekarang sangat rindu akan itu semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya begitulah mas, kalau hidup dibandingkan sekarang, mungkin sudah tidak relevan, kalau hidup yang dulu dibandingkan dengan hidup didesa saya dengan desa yang lain bisa menjadi sebuah bahan pikiran. Kwkw

      Delete
  2. pendidikan berpengaruh besar pada standar kehidupan mz.. kalau dulu emang serba susah nyarinya, sekarang kan sudah ada di mana-mana jadi mudah kalau kepengen makan sesuatu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul juga mbak risna pendidikan dulu memang kurang merata, jadinya yang melarat tambah melarat yang kaya makin kaya, selain pendidikan memang dulu akses untuk menuju pasar perlu ditempuh seharian, itupun jalan kaki.

      Delete
  3. Kalau mengenang masa kecil di kampung, ada rasa sedih dan gembiranya. Soal makan, aduh ya yang penting perut kenyang. Gaplek, jagung atau bahkan nasi saja sudah tergolong mewah untuk saat itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe,, emangnya mas jangkaru juga mengalaminya ta? Jadi bukan saya saja iya. Kwkw

      Delete
  4. Kalau zaman saya di Desa Alhamdulillah makanan sudah melimpah. Itu karena separuh penduduk dusun adalah saudara semua. Jadi, masalah pangan malah bisa milih mau makan di rumah Budhe atau Pakdhe yang mana. Walaupun jalanan masih batu gede-gede tapi desa saya sudah ada listrik dan makanan mencukupi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak dunk kalau begitu, memang sih setelah selang beberapa tahun dari keadaan itu, baru ada listrik mas, tapi jarak antara rumah dengan meterannya bisa sampai dua ribu meter. Kwkwkw jadi satu meteran dipakai sampai sepuluh orang.

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Close2X